Sepertinya

     Saat itu, aku berjalan menuju sebuah ruangan yang sangat kukenali. Sebelum melewati ruangan itu ada sebuah pintu bening yang selalu hening dan tenang, sesekali hanya terlihat beberapa orang dengan sepatu-sepatu pentopelnya yang hilir mudik melewati pintu itu. Mungkin hampir sama heningnya dengan tak ingin ikut campurnya diriku pada pintu itu.  
     Ini seperti puisi kontemporer tapi masih jauh dari kata mudah dimengerti, bahkan kata kontemporernya saja sudah membuatku cukup berfikir. Jadi pada suatu siang saat itu tak sengaja aku menemukan sebuah buku tipis dengan bekas-bekas lipatan yang tebal. Sepertinya dapat dibayangkan orang seperti apa yang memiliki buku sekusut itu. Awalnya aku tak tertarik, namun saat melihat gugusan paragraf pendek dari pulpen di halaman yang terbuka dari buku itu barulah syaraf mataku mulai sedikit mencuri apa yang ada di sana.
     Di sana tertulis "Kau Hampa". Lalu di baris selanjutnya seperti ini,
  Saat ku rasa, aku tau
  Saat ku lihat, aku buta
  Lalu saat ku coba gapai
  Berbalik arah menyerangku
     Kau tak berbunyi
     Namun aku dapat mendengarnya
     Kau tak menyapa
     Namun aku membalas menyapa
   Siput tanpa cangkang
   Dan zebra tanpa garis hitam
   Seperti fana
   Padahal aku yang buta
      Aku sakit
      Lalu kembali
      Lalu enyah
      Lalu sakit
     Keningku berkerut, mataku menyipit halus mencoba berfikir logis "Apakah orang ini sedang berbincang dengan setan? Atau ia memang sedang sakit jiwa? Tak terbayang bagaimana manusia seperti itu dapat hidup". Lalu aku tak peduli lagi. Seperti setengah menyesal telah membaca catatan kisut itu, membuang-buang waktu saja rasanya.
     Lalu aku melanjutkan langkahku meninggalkan buku tipis itu ke luar ruangan. Sepatu tali dengan tinggi kira-kira 2 cm itu mengantarkan kedua kakiku dengan langkah yang ringan, teratur, dan nyaman saat bersentuhan dengan bumi. Saat aku kembali melewati ruang hening itu, tak sengaja beberapa orang keluar dengan sepatu pentopel mereka. "Selamat siang", sapa salah seorang dari ruang hening itu.
     "Siang"
     Sapaannya terdengar tak sehening ruangan itu saat aku melewatinya, bahkan mimik mukanya sangat hangat dan akrab. Tak mengerti, akupun hanya diam tak mencoba bertanya-tanya sehening ruangan itu.
     Keesokkan harinya pintu yang selalu hening saat kulewati itu tiba-tiba saja sedikit lebih ramai dari biasanya, ada beberapa pasang sepatu pentopel berdiri disekitar pintu yang tak biasanya terbuka itu.
     Saat aku melewatinya tak ada salah satu pasang pentopelpun yang menyapaku, terdengar biasa namun rasanya seperti ada yang kurang. Ruangannya seperti ruangan lain, hanya saja ada sebuah gambar aneh dalam salah satu layar monitor disana yag tak sengaja kulihat. Ada seekor kuda putih dan amoeba di padang rumput.
    Aku berhenti sejenak, salah seorang pengguna sepatu pentopel itu berkata "Tak apa, lain kali kau akan mengenalinya". Saat itu bukan hanya dariku tapi otakku juga mengkerut, langkahku tak nyaman saat mengenai bumi.
     Dua jam setelah itu barulah aku dapat kabar bahwa seseorang penghuni ruangan itu telah mutasi ke ruang lain di perusahaan induk. Ia seorang pemikir utama redaksi di ruangan itu. Saat aku melewati ruangan itu kembali, seseorang pentopel berkata "Hilang sudah si pencari masalah kita. Mau diapakan zebra dan siput di komputernya?".
     Saat itu langkahku benar-benar tak teratur saat menyentuh bumi.

Komentar

Postingan Populer