Hakikat kita sebagai manusia

Hidup sebagai mahluk sosial, hidup berkoloni atau macam-macam kata tentang hidup manusia.
Seorang pemimpin bijaksana dulunya juga pernah jadi bawahan rendahan, atau seorang dermawan juga dulunya pernah lapar.
Ini hidup, hidup untuk berjuang, dan berakhir dengan mati. Bayi, balita, anak-anak, remaja, dewasa, dan tua. Puzzle-puzzle yang menyusun sebuah cerita. Tentu saja kita, dan dia, dan dia, dan dia. Dan pada saat potongan terakhir terpasang barulah sebuah kata sukses terucap, kita tiada.
Gue adalah orang dengan intensitas menyapa selamat pagi pada kucing lebih besar daripada dengan abang sendiri. Tapi semuanya begitu saja seperti angin yang menerpa-nerpa halus.
Rasanya dulu kita bisa bebas berlari riang menebus angin tanpa takut jatuh, bukit demi bukit, menari-nari bersama angin, dibawa tinggi dengan kasih sayang ayah bunda. Tapi ternyata tak semudah itu ceritanya.
Puzzle, bata-bata, atau semua hal yang terdiri dari banyak potongan juga tau, ada siklus liar dalam hidup kita. Sebuah siklus tanpa henti yang meramba-ramba angin realitas.
Realitas. Sebuah kata dengan dua hal, introfeksi diri atau mematikan diri. Bagian dalam sebuah harapan bahwa ada kalanya kita bertindak agar diterima orang lain, atau itu benang merah seorang yang dewasa sampai akhirnya masalahnya adalah bagaimana kita hidup dalam batasan-batasan. Memilih dan memutuskan lagi, menyakiti atau tersakiti dengan harapan-harapan yang diri kita buat sendiri.
Permainan pikiran dan hak-hak yang gemerlap dalam tangan Tuhan. Sebuah ilusi hidup, dan masih banyak lagi tipu muslihat. Dan hakikatnya adalah menikmatinya, ikut stress, bahagia, bahkan merasakan angin sampai akhirnya sebuah kata tentang selesai, meskipun jalan Tuhan tak bisa ditebak dan tak pernah selesai untuk manusia. Kita terlalu ditempatkan ditempat istimewa yang memiliki banyak cabang.
Dan gue hanya takut untuk satu hal, menyakiti orang lain. Hal yang membuat gue terpuruk karena gue bisa tau rasanya, sekedar insting, tapi lagunya melankolis dan berbelit-belit dalam hati.
Dan hidup seperti peredaran matahari, pagi siang malam, cerah dan gelap. Dan gue memilih senja. Karena dalam kilatan-kilatan oranyenya gue bisa menyelipkan harapan harapan dalam realitas dan kesyahduan tutupan mata, berirama seiring angin dan tetap memaksa meminta dengan sangat halus apa hal baik yang terjadi setelah ini Tuhan?, tersenyum.
Kenapa aku bisa punya kesempatan sebagai seorang antagonis padamu. Jika saja kita bisa menghapus semuanya dengan tutupan mata halus dibawah langit senja dan berharap pada Tuhan agar kita jadi orang baik. Kamu berhasil masuk dalam puzzle puzzle itu.

Komentar

Postingan Populer